![]() |
Foto Doc.Rostela Menewa/IPJOGLO |
Tak hanya orang bersekolah tinggi yang punya impian, orang putus sekolah juga punya impian.
Demikian prinsip yang melekat dalam diri Roestela Menewe, lelaki asal Dusun III Kampung Fanamo, Distrik Mimika Timur Jauh, Mimika Papua. Ia pernah bersekolah kejuruan di SMK Petra Timika. Pria itu menamatkan SD tahun 2000 dan SMP pada tahun 2003 di Kampung Manasari Distrik Mimika Timur Jauh. Kampung itu terdiri dari dua lokasi warga, yakni Kampung Omawita dan Fanamo.
“Saya sekolah sampai SMK tapi tidak sempat selesai, karena kendala biaya. Orangtua tidak mampu biaya sekolah jadi putus sebelum tamat,” kisahnya tak pernah dilupakan seumur hidup pria 28 tahun itu. Terpaksa mengikuti ujian Paket C tahun 2006 untuk mengejar impiannya.
Bekal ijazahnya dipergunakan untuk mengejar jenjang pendidikan berikutnya, ke jenjang perguruan tinggi, entah negeri ataupun swasta. “Saya berencana kuliah tapi, tetap tidak bisa. Tidak ada uang,” kisahnya menjadi ujian dan tantangan menghadapi hidupnya.
Ia terpaksa melamar pekerjaan, sebagai peserta tes CPNS Mimika, bahkan melamar pekerjaan ke perusahaan PT Freeport. Selama dua tahun itu tidak ada jawaban panggilan kerja, juga tidak lolos dalam formasi tes CPNS Kabupaten Mimika. Tes pegawai maupun tes peserta beasiswa, gagal terus.
Terpaksa, bekal impian dan motivasi itu dibawa pulang ke kampung asalnya, Fanamo. Kembali menjaring ikan, bekerja sebagai lelaki kampung tak bersekolah.
“Saya kerja di kampung, seperti kawan-kawan saya. Pergi menjaring, kemudian baku bagi. Pekerjaan apapun dari rekan saya bantu, yang penting hati saya murni,” selahnya menerima kenyataan. Bukan berarti pasrah atas impian yang tak pernah terungkap kepada siapapun itu.
Ia pria Kamoro, lain dengan lain. Rupanya Rostela memiliki keinginan, cita-cita dan impian setinggi langit yang mesti terjawab dalam usia hidupnya.
Suatu kali, tahun 2013 saya dilaporkan oleh warga tetangga dan sekampung untuk masuk kelola kios kampung (Fanamo, bantuan LPMAK yang dikhususkan untuk memperlancar kebutuhan sembako kampung),
“Waktu pemilihan pengurus kios, saya mencalonkan diri terlibat dalam mengurusi kios tapi warga lain juga ikut mendukung saya untuk urus kios ini,” paparnya.
Kurang lebih setahun dua bulan tercatat sebagai pengurus kios. Mulai persiapan hingga mengurus kios kampung itu secara rutin. Mulai belajar dari rencana belanja, buat daftar harga barang kios, belajar menentukan harga barang sesuai prinsip ekonomi, serta tidak merugikan bahkan bersaing dengan kios pedagang musiman yang terkesan buruk dalam situasi kehidupan ekonomi warga setempat.
“Misalnya, rokok satu bungkus, dibagi berapa batang di dalam, lalu menentukan harga satuan. Jadi empat batang, sampai kena harga 5ribu rupiah,” kisahnya menilai sebagai bagian pembinaan yang ditempuh. Bukan upah yang dikejar, bukan pula kewajiban menjalankan tugas dan kepercayaan warga kampung bersama ke-3 rekan lainnya di Kios Kampung Fanamo.
“Kita-kan dibina. Dalam pembinaan itu kalau kita turuti, apa yang tidak tahu itu menjadi tahu. Saya jalani dan tidak berkecil hati,” optimisnya bukan demi pribadinya, tapi demi kepentingan bersama kampung.
Ia bukan aparat pengurus pemerintahan kampung. Ia menyadari dirinya, lelaki yang memiliki impian yang belum terjawab dalam hidupnya. “Waktu ada informasi (setelah pusat Ibukota Distrik Ayuka dipindahkan ke Manasari-red), saya langsung siapkan berkas dan kasi masuk sebelum rolling pejabat,” pikirnya saat itu, Pemkab Mimika berencana menempatkan kepala distrik di Mimika Timur Jauh , tahun 2014 lalu.
Usahanya membuahkan hasil. “Sekarang sudah satu bulan dapat honor, dan saya keluar dari pengurus Kios kampung,” lontarnya. Baginya, tujuan hidupnya tak hanya sebatas bekerja sebatas jenjang pendidikan SMK.
Hati nurani tak pernah seburuk pria kecewa, didukung dengan perilakunya bersahabat. Sering bersapa dan menyambut rekan-rekannya sejak pra-sekolah ke Kota Timika, 2003 silam.
“Hati urani saya itu tidak pernah dendam sama orang, sama teman atau siapapun. Kalau ada hasil jaring biasa baku bagi. Sekarang saya ada gaji juga, mereka sering kasi gula-kopi dan sayur, juga ikan ke rumah,” kesan relasinya.
Selain kampung asalnya kaya raya ikan, kepiting, kerang-kerangan, binatang buruhan liar, seolah seperti imbalan kebaikan hati yang diterima padanya.
“Saya hanya berharap, kita kerja itu-kan harus ada kesempatan untuk orang lain,” demikian salah satu prinsipnya. Berharap supaya kios Fanamo itu berjalan normal, mesti ada kader sepikiran untuk tetap semangat dalam mengejar cita-citanya.
Prinsip itupula yang dipegang teguh, ketika sebulan lalu menjadi pegawai honorer di distrik Mimika Timur jauh.
“Saya tidak punya tujuan, tapi sejak kecil saya terbiasa. Bergaul dengan siapa saja, kalau ramah, tidak marah, tidak dendam, itu pasti kita akan menimbah ilmu dari orang lain. Sesuatu yang kita tahu itu menjadi tahu,” kenang riwayat hidupnya yang belum terukir sempurna menurutnya.
Harapan itu yang ada dibenaknya, sejak Maret 2015 kemarin menerima upah berupa honor pegawai distrik.
“Saya sudah belajar mengatur kios, harga barang, untung dan prinsip yang yang mematangkan cita-cita saya. Tapi kalau distrik percayakan saya untuk urus administrasi, saya tetap siap,” harapnya pria yang pernha mengenal komputer sejak SMK di Timika selama tahun 2003-2005.
Riwayat perjalanan mengejar impian dan cita-citanya nyaris pupus, sebab sempat terasa tak akan mendapat kesempatan dalam hidup dan perjuangannya.
“Kalau saya sudah dua tahun kerja di distrik, semoga kepala distrik kasi saya tugas belajar, itu saja,” harapnya. Tak mesti jauh keluar Kota Timika, tergantung jawaban pejabat dan petinggi di pemerintahan atasan saya nanti, paparnya. (PA/willem bobi)
Demikian prinsip yang melekat dalam diri Roestela Menewe, lelaki asal Dusun III Kampung Fanamo, Distrik Mimika Timur Jauh, Mimika Papua. Ia pernah bersekolah kejuruan di SMK Petra Timika. Pria itu menamatkan SD tahun 2000 dan SMP pada tahun 2003 di Kampung Manasari Distrik Mimika Timur Jauh. Kampung itu terdiri dari dua lokasi warga, yakni Kampung Omawita dan Fanamo.
“Saya sekolah sampai SMK tapi tidak sempat selesai, karena kendala biaya. Orangtua tidak mampu biaya sekolah jadi putus sebelum tamat,” kisahnya tak pernah dilupakan seumur hidup pria 28 tahun itu. Terpaksa mengikuti ujian Paket C tahun 2006 untuk mengejar impiannya.
Bekal ijazahnya dipergunakan untuk mengejar jenjang pendidikan berikutnya, ke jenjang perguruan tinggi, entah negeri ataupun swasta. “Saya berencana kuliah tapi, tetap tidak bisa. Tidak ada uang,” kisahnya menjadi ujian dan tantangan menghadapi hidupnya.
Ia terpaksa melamar pekerjaan, sebagai peserta tes CPNS Mimika, bahkan melamar pekerjaan ke perusahaan PT Freeport. Selama dua tahun itu tidak ada jawaban panggilan kerja, juga tidak lolos dalam formasi tes CPNS Kabupaten Mimika. Tes pegawai maupun tes peserta beasiswa, gagal terus.
Terpaksa, bekal impian dan motivasi itu dibawa pulang ke kampung asalnya, Fanamo. Kembali menjaring ikan, bekerja sebagai lelaki kampung tak bersekolah.
“Saya kerja di kampung, seperti kawan-kawan saya. Pergi menjaring, kemudian baku bagi. Pekerjaan apapun dari rekan saya bantu, yang penting hati saya murni,” selahnya menerima kenyataan. Bukan berarti pasrah atas impian yang tak pernah terungkap kepada siapapun itu.
Ia pria Kamoro, lain dengan lain. Rupanya Rostela memiliki keinginan, cita-cita dan impian setinggi langit yang mesti terjawab dalam usia hidupnya.
Suatu kali, tahun 2013 saya dilaporkan oleh warga tetangga dan sekampung untuk masuk kelola kios kampung (Fanamo, bantuan LPMAK yang dikhususkan untuk memperlancar kebutuhan sembako kampung),
“Waktu pemilihan pengurus kios, saya mencalonkan diri terlibat dalam mengurusi kios tapi warga lain juga ikut mendukung saya untuk urus kios ini,” paparnya.
Kurang lebih setahun dua bulan tercatat sebagai pengurus kios. Mulai persiapan hingga mengurus kios kampung itu secara rutin. Mulai belajar dari rencana belanja, buat daftar harga barang kios, belajar menentukan harga barang sesuai prinsip ekonomi, serta tidak merugikan bahkan bersaing dengan kios pedagang musiman yang terkesan buruk dalam situasi kehidupan ekonomi warga setempat.
“Misalnya, rokok satu bungkus, dibagi berapa batang di dalam, lalu menentukan harga satuan. Jadi empat batang, sampai kena harga 5ribu rupiah,” kisahnya menilai sebagai bagian pembinaan yang ditempuh. Bukan upah yang dikejar, bukan pula kewajiban menjalankan tugas dan kepercayaan warga kampung bersama ke-3 rekan lainnya di Kios Kampung Fanamo.
“Kita-kan dibina. Dalam pembinaan itu kalau kita turuti, apa yang tidak tahu itu menjadi tahu. Saya jalani dan tidak berkecil hati,” optimisnya bukan demi pribadinya, tapi demi kepentingan bersama kampung.
Ia bukan aparat pengurus pemerintahan kampung. Ia menyadari dirinya, lelaki yang memiliki impian yang belum terjawab dalam hidupnya. “Waktu ada informasi (setelah pusat Ibukota Distrik Ayuka dipindahkan ke Manasari-red), saya langsung siapkan berkas dan kasi masuk sebelum rolling pejabat,” pikirnya saat itu, Pemkab Mimika berencana menempatkan kepala distrik di Mimika Timur Jauh , tahun 2014 lalu.
Usahanya membuahkan hasil. “Sekarang sudah satu bulan dapat honor, dan saya keluar dari pengurus Kios kampung,” lontarnya. Baginya, tujuan hidupnya tak hanya sebatas bekerja sebatas jenjang pendidikan SMK.
Hati nurani tak pernah seburuk pria kecewa, didukung dengan perilakunya bersahabat. Sering bersapa dan menyambut rekan-rekannya sejak pra-sekolah ke Kota Timika, 2003 silam.
“Hati urani saya itu tidak pernah dendam sama orang, sama teman atau siapapun. Kalau ada hasil jaring biasa baku bagi. Sekarang saya ada gaji juga, mereka sering kasi gula-kopi dan sayur, juga ikan ke rumah,” kesan relasinya.
Selain kampung asalnya kaya raya ikan, kepiting, kerang-kerangan, binatang buruhan liar, seolah seperti imbalan kebaikan hati yang diterima padanya.
“Saya hanya berharap, kita kerja itu-kan harus ada kesempatan untuk orang lain,” demikian salah satu prinsipnya. Berharap supaya kios Fanamo itu berjalan normal, mesti ada kader sepikiran untuk tetap semangat dalam mengejar cita-citanya.
Prinsip itupula yang dipegang teguh, ketika sebulan lalu menjadi pegawai honorer di distrik Mimika Timur jauh.
“Saya tidak punya tujuan, tapi sejak kecil saya terbiasa. Bergaul dengan siapa saja, kalau ramah, tidak marah, tidak dendam, itu pasti kita akan menimbah ilmu dari orang lain. Sesuatu yang kita tahu itu menjadi tahu,” kenang riwayat hidupnya yang belum terukir sempurna menurutnya.
Harapan itu yang ada dibenaknya, sejak Maret 2015 kemarin menerima upah berupa honor pegawai distrik.
“Saya sudah belajar mengatur kios, harga barang, untung dan prinsip yang yang mematangkan cita-cita saya. Tapi kalau distrik percayakan saya untuk urus administrasi, saya tetap siap,” harapnya pria yang pernha mengenal komputer sejak SMK di Timika selama tahun 2003-2005.
Riwayat perjalanan mengejar impian dan cita-citanya nyaris pupus, sebab sempat terasa tak akan mendapat kesempatan dalam hidup dan perjuangannya.
“Kalau saya sudah dua tahun kerja di distrik, semoga kepala distrik kasi saya tugas belajar, itu saja,” harapnya. Tak mesti jauh keluar Kota Timika, tergantung jawaban pejabat dan petinggi di pemerintahan atasan saya nanti, paparnya. (PA/willem bobi)
Sumber Anigou News ---
0 komentar:
Posting Komentar